KEPEMILIKAN MUWARRIST YANG TIDAK JELAS
Masyarakat muslim kita terdahulu dan sampai hari ini tidak terlalu peduli dengan arsip dan dokumentasi kepemilikan. Masih banyak sekali masyarakat kita yang tidak mau mengurus dokumen kepemilikan itu secara sah, mereka menganggap remeh akan dokumentasi tersebut. Mereka merasa cukup dengan pengakuan kepemilikan oleh orang lain secara verbal tanpa tulisan sedikitpun.
Ini adalah sikap yang kurang tepat dan perlu perubahan pola fikir. Dokumentasi dan arsip kepemilikan itu sangat penting saat kita hidup dan saat kita mati. Saat kita hidup dokumentasi kepemilikan menjadi penguat kepemilikan dan bukti yang sah. Bahkan atas nama dalam sebuah dokumentasi kepemilikan pun bisa jadi tidak menunjukkan kepemilikan orang yang namanya tertera di dokumen tersebut. Apalagi jika tidak ada dokumentasi kepemilikan. Dengan demikian dokumentasi kepemilikan menjadi begitu penting untuk diri kita dan keluarga kita.
Di saat kita mati dokumentasi kepemilikan sangat dibutuhkan untuk pemecahan warisan kita. Dengan dokumentasi kepemilikan tersebut maka ahli waris kita akan mudah mengenali kekayaan yang menjadi hak mereka dalam hokum waris islam. Jika dokumentasi kepemilikan tidak ada maka ahli waris akan terancam kehilangan warisan mereka. Nau’zubillah min zalik.
Sengketa dalam pemecahan warisan sering terjadi akibat kepemilikan yang tidak jelas. Contoh : seorang ayah memberikan sebuah rumah kontrakan kepada putranya yang sudah menikah dengan ucapan: “kontrakan itu buat kamu, silahkan tinggal di situ”. Namun ucapan itu tidak diiringi dengan pembuatan dokumentasi balik nama hibah atas nama si anak. Apakah yang terjadi setelah si ayah meninggal?
Anak-anak yang lain pasti menganggap rumah kontrakan itu masih menjadi milik ayah mereka sehingga mereka menuuntut pembagian warisan dari rumah kontrakan tersbut. Si anak yang menerima hibah tadi tentu menolak pendapat ahli waris tersbut. Sengketa dan pertengkaran lah yang akan terjadi.
Begitu juga dengan pencampuran kepemilikan antara suami dan istri tanpa keterangan saham masing-masing. Hal seperti ini adalah kepemilikan yang tidak jelas dan pada saatnya akan menjadi pemicu sengketa warisan keluarga.
Sudah menjadi hal yang lumrah di tengah masyarakat kita bahwa suami dan istri biasa membeli rumah tinggal mereka secara urunan bersama. Biasanya mereka mengeluarkan dana tanpa memperhitungkan dan tanpa catatan. Mereka beranggapan tidak pantas bersikap “perhitungan” terhadap suami atau istri. Masyarakat beranggapan bahwa sikap “perhitungan” berarti bakhil atau pelit dan tidak harmonis. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Jika persepsi seperti itu terus dipertahankan maka ketidak jelasan akan kepemilikan harta oleh suami atau istri akan menjadi kenyataan. Pada saatnya rumah yang dibeli secara urunan dan dimiliki bersama akan menjadi sengketa saat pembagian warisan.
Untuk mengantisipasi sengketa warisan sejak dini, saya merekomendasikan agar kepemilikan bersama antara suami dan istri di lakukan pencatatan prosentase secara jelas dan transparan. Berapa persen hak suami dan berapa persen hak istri dari rumah tersebut. Kejelasan prosentase itulah yang nantinya akan menyelamatkan ahli waris mereka dari sengketa.
Begitu juga kepemilikan yang tidak jelas yang diakibatkan oleh hibah atau pemberian setengah hati dapat diantisipasi dengan lebih memahami hibah itu sendiri dan berfikir lebih dalam akan konsekwensi hibah kepada ahli waris sebelum melakukan hibah.
Sedangkan sengketa yang disebabkan oleh tidak adanya dokumen resmi dalam kepemilikan maka dapat diantisipasi dengan membuat dokumen, memperlihatkan dokumen kepada ahli waris dan memberi penjelesanan kepada mereka. Muwarist hendaknya dapat bersikap terbuka kepada ahli warisnya tentang status kepemilikannya. Dengan demikian asset waris menjadi jelas dan tidak lagi berpotensi sengketa pada saatnya.
Oleh : Ahmad Bisyri Syakur,Lc.MA